Rabu, 27 Mei 2015

Short Story: I Feel Sorry towards...

Kemarin aku bertemu dengan dia. Dia yang pernah mengisi sebagian hidup dan pernah mengisi hari-hariku. Klise, ya? Well, aku tidak pernah pandai untuk mengutarakan dan menggambarkan isi hatiku. Terlebih saat ini – tiga tahun setelah dia mendeklarasikan berpisah denganku. Untuk mengejar ‘impian’ dan ‘cita-cita’ yang selama ini dia idamkan. Aku tidak menyalahkannya, at least sekarang, after all this time, atas keputusannya itu. Tak munafik aku pernah sangat membencinya, mengutuk dan berharap dia tak pernah bahagia dengan pilihannya saat itu. Tapi setelah melihatnya kemarin, I mean secara langsung, I feel sorry towards him. I never thought he would turn out ‘that way’.

Aku pernah sangat mencintainya, mengagungkan namanya dan selalu kubanggakan di depan teman-temanku. ‘Dia jago banget masak. Kemarin dia masakin tom yum sama nasi lemak buat gue,’ ujarku saat itu. Tami menyesap capuccinnonya pelan dan berdeham, ’Well, you deserve it. You’ve been his fan for years. Up to he noticed you and make a move, you really are a lucky girl. I wish my husband could do such things, but he couldn’t!’ Aku salah tingkah dan menggaruk dahiku pelan. Pipiku panas, ya aku merasakannya. ‘But, you’re married dan gue belum. Mungkin untuk beberapa tahun ke depan pun belum.’ Kepalaku tertunduk. Kedua tanganku memutar pelan cangkir kopi yang telah kosong.

Don’t stop believing, La. Give him time, give him space, he won’t be leaving you. Dia sayang banget lagi sama lo. Selagi lo masih punya kesempatan, puas-puasin dulu aja pacarannya. Percaya deh sama gue, kehidupan setelah lo married gak seindah yang lo bayangin! Gue aja nyesel nikah muda. Haha,’ ujar Tami sembrono. Aku hanya bisa tergelak dan memukul pundaknya pelan.

Tami bisa dibilang adalah perempuan yang tahu sepak terjangku ‘menaklukkan’ lelaki ini. Ya, dia sering memberikan petuah-petuah ajaib yang tidak pernah aku pikirkan akan kulakukan demi mendapatkan hati lelaki yang dengan malas aku menyebutnya mantan! Percaya deh, setelah dikecewakan begitu rupa, dibohongi sampai hatimu berubah menjadi sekeras batu, hal seperti apa lagi yang ingin kau rasakan? Putus? Ya, tentu saja aku melakukannya.

Ibuku adalah wanita dan mungkin orang pertama yang menyadari perubahan sikapku. Di kantor, aku berusaha memasang tampang tegar meskipun hampir semua orang di HRD – tempatku selama ini bernaung – tahu statusku berubah dari yang tadinya gadis ceria yang mempunyai pasangan idaman semua wanita menjadi gadis yang agak kurang ceria dan baru saja putus dengan lelaki idaman wanita manapun, dan pasti banyak wanita yang dengan kurang ajar langsung mendekati lelaki itu. Di kantor aku masih bisa memasang muka tebal dan mengacuhkan pertanyaan membosankan seperti ‘What happened?’, ‘You seemed so happy and didn’t have any problems at all. How could this happen?’, ‘Jalang mana yang ngebuat hubungan lo berantakan, sini gue habisin!’ Yah, kalimat terakhir pastinya datang dari Tami, she’s the reason I could still laugh as hard as I want in pantry when we have our break. Lain di kantor, lain di rumah. Saat aku sudah di rumah, aku akan menangis sampai nafasku habis, tanpa suara, kadang di bawah shower kamar mandi sampai ibuku menggedor-gedor pintu kamarku. ‘Jangan boros air, dua bulan kemarin tagihan air membengkak gara-gara kebiasaanmu ini. Keluar deh, Ibu masak kwetiau.’ Tentu saja aku keluar kamar – setelah mengeringkan badan dan berganti pakaian tentunya – bukan untuk makan. Aku hanya akan memeluk ibuku sampai pagi, sampai tangan ibu kram karena aku menindihnya saat tidur.

Aku hidup berdua saja dengan ibuku. Ayahku? Tidak, dia tidak atau belum meninggal. Ibu dan ayah mempunyai urusan yang aku tidak perlu tahu apa dan bagaimana. Yang aku tahu mereka telah bahagia dengan pilihan hidup mereka masing-masing dan tidak pernah membenci satu sama lain. Terkadang aku mengunjungi keluarga ayah selama beberapa hari. Membelikan mainan untuk adik-adik tiriku, membelikan hadiah untuk ayah dan Ibu Lisa – begitu aku memanggil istri ayah yang sekarang, dan berlibur bersama. Tentu saja ibuku tidak ikut. Aku tidak mau jadi anak kurang ajar tak berhati yang mengajak ibu kandung untuk mengunjungi keluarga baru mantan suaminya.

Ibu adalah wanita yang kuat, mandiri, bersahaja, keras, tangguh, tidak ada feminim-feminimnya. Ibu adalah orang yang seperti itu. Ibu tidak pernah mendidikku untuk menjadi wanita yang selalu bergantung pada lelaki. Di usianya yang telah menginjak 50 tahun, ibu tidak mau berhenti bekerja. Pekerja kantoran bukanlah impiannya, namun ibu tidak punya pilihan. Di waktu senggangnya, ibu akan merajut dan menanam sayur dan bunga di halaman belakang. Sangat sulit mengajak ibu berlibur. Aku hanya akan mengajaknya berjalan-jalan di mall atau mengunjungi nenek saat libur panjang. Selebihnya kami hanya mempunyai quality time di rumah dan tidur bersama saat ‘tantrum’ku kambuh.

Ibu orang yang tertutup, namun tidak pelit senyum. Sebenarnya ibu orang yang konyol dan suka bercanda, hanya saja tidak mau terbuka tentang masalah pribadinya. Aku tahu ibu mempunyai asam urat setelah menemukan bekas bungkus obat yang telah disobek-sobek di tempat sampah saat petugas kebersihan datang dan aku langsung ‘menyidang’ ibu setelahnya. Ibu hanya tersenyum kecil dan mencium keningku, ‘Cerewet sekali kayak bapaknya. Kamu tenang aja, Pris, Ibu bisa jaga diri kok. Ini kecolongan aja.’ Aku cuma bisa merengut dan memeluk ibu. Aku juga tahu ibu kerap menemui seorang lelaki di kota sebelah yang aku ketahui belakangan adalah seorang tuan tanah. Aku beberapa kali membuntuti ibu berkencan, seperti orangtua protektif yang menguntit anak gadisnya berkencan tapi ini berkebalikan, seharian penuh. Satu hal yang aku catat kalau ibu pergi berkencan, ibu tidak pernah menginap, ibu selalu pulang ke rumah. Semalam apapun ibu pergi. He seems nice. Aku menyukai si tuan tanah baik hati ini, namun ibu belum mengenalkannya padaku. Tidak apa-apa, aku akan menunggu pengumuman bahagianya nanti.

Aku selalu berharap bisa seperti ibuku: mandiri dan kuat. Tapi apabila teringat pengkhianatan yang dilakukan lelaki itu, pendirianku melempem seperti biskuit bayi terendam air. Hancur terlumat. Setahun penuh setelah dia pergi aku hanya mengasihani diriku dan menikmati patah hatiku. Have I mentioned ‘tantrum’? That’s when I feel so damn miserable reminding the good old days with that guy. Setelah seperti itu aku akan pulang ke rumah, menangis sesengukan. Kadang tidak akan memakan apapun selama beberapa hari kecuali air. Well, itu minum, tidak masuk hitungan, but who cares? Mengguyur kepalaku selama beberapa menit bahkan berjam-jam sampai tagihan air membengkak, sampai kulitku mengkerut keriput jelek dan kulitku membiru pucat. Selain itu aku akan keluar rumah seharian dan bersenang-senang, dengan cara yang teramat… sembrono.

Shopping, go karaoke with the girls or just alone, go clubbing, get drunk, call some random male friends and get drunk together, you name it, but never got laid. Even once. I mean, with those random guys I just do silly things, and never include ‘down-there’ business. Pernah suatu malam, after a hard and crazy karaoke with my only own self, aku menelepon Tedy. He’s one of my best lads from high school. ‘Gue juga lagi sendirian nih di kedai Korea yang waktu itu kita gak sengaja nemu. Sini aja, gue pesen sapi panggang. Wait, are you okay?’ Aku hanya menangis sesaat lalu menyusut hidung, ‘Gue lagi pengen banget dipeluk.’ Tedy terdiam di ujung sana. Terdengar dia menelan sesuatu mungkin sapi panggang yang dia katakan. ‘Lo dimana? Gue jemput aja.’ Aku turun dari taksi dan menghampirinya, ‘No need, I’m here. Some soju, please.’ Aku memesan dua botol soju dan mencomot sapi panggang dari mangkok kecil di depan Tedy. Soju sebenarnya terasa aneh di lidahku, I’m never been an alcohol person, but when ‘it’ hit me, I’d love to get drunk.

‘Just forget him. He is no longer worth your time, your tears, your everything. He is gone for that biatch!’

‘Tapi gue ga pernah sesayang itu sama cowok, Ted. Dia orang pertama yang bikin gue jatuh cinta. Gue harus gimana?’ aku menangis lagi. Meneguk sebotol soju yang terhidang rapi di depanku.

Tedy berdecak sebal lalu menelan sapi panggangnya lagi. ‘Tadi maksudnya pengen dipeluk gimana? Are you gonna get laid? With me?’

Ingin rasanya menggetok botol soju kosong ini ke kepala Tedy, tapi urung kulakukan. Aku menuang sedikit soju lagi ke gelas kecil yang disodorkan Tedy. ‘No, I just wanna hug someone, somebody, whatever. I just miss him. So bad. I can’t stand it, Ted.’

‘Hug me then. I’m all ready for you,’ Tedy merentangkan kedua tangannya setelah meneguk segelas kecil soju dingin.

Kepalaku mulai terasa berat. Pusing. Tapi soju ini rasanya lembut sekali di mulut. Tapi aku ingin dipeluk. Sebelum aku beranjak menghampiri Tedy yang siap meraih tanganku, aku jatuh tersungkur. Kepalaku sakit menghantam ubin. Dasar Tedy bodoh, kenapa tidak menangkapku? Lelaki macam apa itu? Tapi aku tahu dia teman yang baik. Aku bangun keesokan paginya di kamar ibuku dan terlihat ibu dengan raut muka cemas menungguiku. Ibu langsung menyodoriku advil dan air putih. Aku terbatuk sebentar dan duduk bersandar di kasurnya. ‘Tedy mana, Bu?’

Wajah ibu berubah marah. Marah yang lucu, bukan yang benar-benar marah. Lalu dia memukul tanganku. Aku mengaduh dan kita tertawa lirih. ‘Jam 2 tadi dia gedor-gedor pintu gerbang kirain siapa ada apaan. Ternyata kamu pingsan, kepala benjol, bau alkohol, kucel pasti habis nangis, dan Ibu mukulin Tedy bentar. Tedy udah pulang tadi, dia gak mau telat ke kantor katanya. Oh iya, Ibu udah ijinin kamu ga masuk ke kantor, masuknya lusa karena gak enak badan. Kamu jangan main-main dulu, istirahat. Ibu ke kantor dulu. Telat nih gara-gara kamu.’ Ibu mencium keningku sebentar lalu pergi ke kantor setelah taksi yang dipesannya datang. Aku mengantar ibu sampai pintu gerbang lalu masuk kembali ke rumah. Aku berdiri di depan kaca besar di kamarku, menilai penampilanku sendiri. Kepalaku masih benjol sedikit. Bajuku pasti sudah diganti ibu dan badanku pasti sudah dibersihkan sebelumnya. Masih tercium sedikit soju. Aku terlihat menyedihkan. Sangat menyedihkan.

Setahun penuh aku menghabiskan waktuku mengasihani diriku sendiri dan bersikap menyedihkan. Aku tidak pernah absen men-stalk kehidupan pribadi lelaki itu di social media yang masih aku follow. Facebook, Twitter, blog, Instagram, Line, semuanya. Ya, dia aktif di semua media sosial tersebut. Dasar kurang kerjaan! Tapi aku selalu berakhir sakit hati, tak jarang menangis yang harus kutahan saat aku masih di kantor. Lelaki ini yang dulunya sangat aku banggakan berkata tidak akan goyah pertahanannya hanya karena satu wanita keras kepala yang terus menerus mengganggu hubungan kami. Lalu kantor menugasiku selama dua minggu untuk suatu proyek yang tak bisa aku tolak karena ini demi kenaikan pangkatku. Tugas yang harusnya berakhir dalam dua minggu harus molor menjadi tiga bulan karena klien sangat menyukai hasil kerja kerasku dan that’s how it happened. ‘I need you, but you’re not here. You’re out there. Kita jauh, tapi aku kangen kamu. Aku pengen ditemenin kamu. Telfon, video call, gambar dan foto ga cukup buat aku. I need you here, you’re not here. So, I’m sorry. I’m sorry I can’t take it any longer.’ Dia berdalih saat aku bertanya kenapa semua fotoku dihapus dan relationship status-nya menjadi single. Dan aku memergokinya saling berpelukan dan bergandengan tangan dengan wanita yang dia bilang tidak usah dikhawatirkan. He’s cheating on me while I’m trying my best to save my relationship and get my promotion. How cruel.

Lalu aku melihatnya kemarin. Jauh lebih menyedihkan daripada aku tiga tahun yang lalu. Well, aku masih single dan belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Trauma? Mungkin. And I saw him yesterday. Dia terlihat… sangat memprihatinkan. I heard he’s getting married, after two years of cheating relationship. I didn’t get the invitation at that time, but I knew it. I remembered I cried for like 3 months and I decided to move on. In three years I never stop checking his activities on those social media, I’m such a stalker. And I saw him yesterday. I feel sorry towards my ex-boyfriend yesterday after three years of broken heart and I never feel so much relieved for losing him. I saw him, he saw me.

Ibuku tidak pernah membenci ayahku karena lebih memilih berpisah daripada mempertahankan biduk rumah tangga mereka. Hal itu juga yang diajarkan kepadaku, ‘Jangan pernah membenci hal-hal yang menyakitkanmu. Mungkin itu menyebalkan, kamu akan merindukan kebersamaan itu suatu hari tapi itu udah gak ada. Percaya deh sama Ibu, kamu nanti lama-lama akan terbiasa. Tetap sayangi keluargamu, karena gak ada istilah mantan bapak, mantan ibu di dalam keluarga. Legowo aja.’

Ibu tidak pernah marah walaupun aku menceritakan padanya betapa aku patah hati dan merasa terkhianati karena lelaki ini. Ibu diam saja dan memelukku. ‘Kamu hanya terlalu mencintai seseorang yang kamu sendiri gak yakin sama dia. Kamu hanya memperjuangkan egomu sendiri yang kamu yakini sendiri akan berhasil dan kamu ‘memaksa’ keyakinanmu untuk diyakini sama dia. Ya mungkin bener karena kamu lagi jauh waktu itu dan kamu gak ada usaha untuk ‘membuktikan’ keyakinan kamu itu. Atau lebih simpelnya, ya dia emang brengsek aja, Pris.’ Seketika aku terbahak mendengar nasehat Ibu namun tak melepaskan pelukannya. Hal itu sering terulang lalu aku berakhir tidur bersama Ibu dan membuat tangannya kram sebelah lagi.

‘Priscilla,’ dia memanggilku lirih. Aku menilai penampilannya sekilas. Dulu dia dikenal necis dan rapi, rambut kusut sedikit saja langsung ribut mencari sisir dan kaca. Sekarang penampilannya kusut, kumisnya tipis tak terawat, rambut acak-acakan, memakai jaket krem kebesaran dan celana jins kumal. Aku berdeham sebentar, ‘Hai.’

‘Long time no see.’

‘Well, gue gak punya alasan yang pas juga sih buat ketemu.’

Dia tersenyum tipis, merangkul kantong kertas yang berisi sayuran dan buah-buahan lebih erat. Aku tidak pernah menyangka dia akan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti ini. ‘Masih sama kayak dulu, to the point, gak bisa basa basi.’ Aku hanya tersenyum tipis dan melipat kedua tanganku. ‘So, this is my marriage life. Being a dad of two and a bossy wife.

Of course, I knew it! I know all of his activities, he always posted it on Instagram, for God sake! Tapi semua penampilan sempurnanya di masa lalu terasa palsu setelah melihatnya hari ini. I stop checking his Instagram since his twin son born. Aku merasa itulah saatnya aku berhenti bersikap menyedihkan dan tidak lagi menjadi pengecut. Yah, aku masih memeriksanya sesekali saat aku bosan and I found nothing. Lama kelamaan kebiasaan stalking ini membosankan dan sia-sia. Kita mengobrol sebentar, kebanyakan dia menceritakan keluarga kecilnya dan istrinya – that bi… ah no more, they both are just pitiful now – dan aku hanya menanggapi seadanya. Setelah pembicaraan kosong yang berakhir dengan aku hanya mengasihaninya karena kehidupannya yang tak lagi indah dan berantakan, aku pergi mengunjungi ayahku. Dia pergi berjalan kaki menuju rumahnya. Kami berpisah jalan tanpa berjabat tangan karena merasa aku tidak perlu menjalin komunikasi apapun dengannya. It all is over.


I know these words while I surf for nothing on internet. ‘Seeing the one who once took you for granted being taken for granted and you just: I could give you the world, but oh well.’ It hit me! Right on my chest! It felt like I was enlightened by some random wisdom, but it is so much true and I was like ‘OH DAAAMN, where have I been?!’ I saw my ex-boyfriend yesterday and felt sorry towards him for being pathetic and faked everything to look perfect. Go on with your life, I already have mine. I don’t want to see you in another life, because my future must be bright and sorry, you’re not on the list.

VOILA!

Hiiiii, good people. It's a very long time no see you. Haha, I didn't have the chance to post anything here. So, I'll just be blunt and jump to the point. Well, I made a short story.

*VOILAAAAAAA!* *trumpet and drum rumbling*

It is not a good one. I just made it... all the way. Haha, what am I saying actually? Okay, I'll post it later. The short story. If you like it, please give some feedback. Mercii :)