Kemarin aku
bertemu dengan dia. Dia yang pernah mengisi sebagian hidup dan pernah mengisi
hari-hariku. Klise, ya? Well, aku tidak pernah pandai untuk mengutarakan dan
menggambarkan isi hatiku. Terlebih saat ini – tiga tahun setelah dia
mendeklarasikan berpisah denganku. Untuk mengejar ‘impian’ dan ‘cita-cita’ yang
selama ini dia idamkan. Aku tidak menyalahkannya, at least sekarang, after all
this time, atas keputusannya itu. Tak munafik aku pernah sangat
membencinya, mengutuk dan berharap dia tak pernah bahagia dengan pilihannya
saat itu. Tapi setelah melihatnya kemarin, I
mean secara langsung, I feel sorry
towards him. I never thought he would turn out ‘that way’.
Aku pernah
sangat mencintainya, mengagungkan namanya dan selalu kubanggakan di depan
teman-temanku. ‘Dia jago banget masak. Kemarin dia masakin tom yum sama nasi lemak buat gue,’ ujarku saat itu. Tami menyesap
capuccinnonya pelan dan berdeham, ’Well,
you deserve it. You’ve been his fan for years. Up to he noticed you and make a
move, you really are a lucky girl. I wish my husband could do such things, but
he couldn’t!’ Aku salah tingkah dan menggaruk dahiku pelan. Pipiku panas,
ya aku merasakannya. ‘But, you’re married
dan gue belum. Mungkin untuk beberapa tahun ke depan pun belum.’ Kepalaku
tertunduk. Kedua tanganku memutar pelan cangkir kopi yang telah kosong.
‘Don’t stop believing, La. Give him time,
give him space, he won’t be leaving you. Dia sayang banget lagi sama lo.
Selagi lo masih punya kesempatan, puas-puasin dulu aja pacarannya. Percaya deh
sama gue, kehidupan setelah lo married
gak seindah yang lo bayangin! Gue aja
nyesel nikah muda. Haha,’ ujar Tami
sembrono. Aku hanya bisa tergelak dan memukul pundaknya pelan.
Tami bisa
dibilang adalah perempuan yang tahu sepak terjangku ‘menaklukkan’ lelaki ini.
Ya, dia sering memberikan petuah-petuah ajaib yang tidak pernah aku pikirkan
akan kulakukan demi mendapatkan hati lelaki yang dengan malas aku menyebutnya
mantan! Percaya deh, setelah dikecewakan begitu rupa, dibohongi sampai hatimu
berubah menjadi sekeras batu, hal seperti apa lagi yang ingin kau rasakan?
Putus? Ya, tentu saja aku melakukannya.
Ibuku adalah
wanita dan mungkin orang pertama yang menyadari perubahan sikapku. Di kantor,
aku berusaha memasang tampang tegar meskipun hampir semua orang di HRD –
tempatku selama ini bernaung – tahu statusku berubah dari yang tadinya gadis
ceria yang mempunyai pasangan idaman semua wanita menjadi gadis yang agak
kurang ceria dan baru saja putus dengan lelaki idaman wanita manapun, dan pasti
banyak wanita yang dengan kurang ajar langsung mendekati lelaki itu. Di kantor
aku masih bisa memasang muka tebal dan mengacuhkan pertanyaan membosankan
seperti ‘What happened?’, ‘You seemed so
happy and didn’t have any problems at all. How could this happen?’, ‘Jalang
mana yang ngebuat hubungan lo
berantakan, sini gue habisin!’ Yah,
kalimat terakhir pastinya datang dari Tami, she’s
the reason I could still laugh as hard as I want in pantry when we have our
break. Lain di kantor, lain di rumah. Saat aku sudah di rumah, aku akan
menangis sampai nafasku habis, tanpa suara, kadang di bawah shower kamar mandi sampai ibuku
menggedor-gedor pintu kamarku. ‘Jangan boros air, dua bulan kemarin tagihan air
membengkak gara-gara kebiasaanmu ini. Keluar deh, Ibu masak kwetiau.’ Tentu saja aku keluar kamar –
setelah mengeringkan badan dan berganti pakaian tentunya – bukan untuk makan.
Aku hanya akan memeluk ibuku sampai pagi, sampai tangan ibu kram karena aku
menindihnya saat tidur.
Aku hidup berdua
saja dengan ibuku. Ayahku? Tidak, dia tidak atau belum meninggal. Ibu dan ayah
mempunyai urusan yang aku tidak perlu tahu apa dan bagaimana. Yang aku tahu
mereka telah bahagia dengan pilihan hidup mereka masing-masing dan tidak pernah
membenci satu sama lain. Terkadang aku mengunjungi keluarga ayah selama
beberapa hari. Membelikan mainan untuk adik-adik tiriku, membelikan hadiah
untuk ayah dan Ibu Lisa – begitu aku memanggil istri ayah yang sekarang, dan
berlibur bersama. Tentu saja ibuku tidak ikut. Aku tidak mau jadi anak kurang
ajar tak berhati yang mengajak ibu kandung untuk mengunjungi keluarga baru
mantan suaminya.
Ibu adalah
wanita yang kuat, mandiri, bersahaja, keras, tangguh, tidak ada feminim-feminimnya.
Ibu adalah orang yang seperti itu. Ibu tidak pernah mendidikku untuk menjadi
wanita yang selalu bergantung pada lelaki. Di usianya yang telah menginjak 50
tahun, ibu tidak mau berhenti bekerja. Pekerja kantoran bukanlah impiannya,
namun ibu tidak punya pilihan. Di waktu senggangnya, ibu akan merajut dan
menanam sayur dan bunga di halaman belakang. Sangat sulit mengajak ibu
berlibur. Aku hanya akan mengajaknya berjalan-jalan di mall atau mengunjungi
nenek saat libur panjang. Selebihnya kami hanya mempunyai quality time di rumah
dan tidur bersama saat ‘tantrum’ku kambuh.
Ibu orang yang
tertutup, namun tidak pelit senyum. Sebenarnya ibu orang yang konyol dan suka
bercanda, hanya saja tidak mau terbuka tentang masalah pribadinya. Aku tahu ibu
mempunyai asam urat setelah menemukan bekas bungkus obat yang telah
disobek-sobek di tempat sampah saat petugas kebersihan datang dan aku langsung
‘menyidang’ ibu setelahnya. Ibu hanya tersenyum kecil dan mencium keningku,
‘Cerewet sekali kayak bapaknya. Kamu tenang aja, Pris, Ibu bisa jaga diri kok.
Ini kecolongan aja.’ Aku cuma bisa merengut dan memeluk ibu. Aku juga tahu ibu
kerap menemui seorang lelaki di kota sebelah yang aku ketahui belakangan adalah
seorang tuan tanah. Aku beberapa kali membuntuti ibu berkencan, seperti
orangtua protektif yang menguntit anak gadisnya berkencan tapi ini berkebalikan,
seharian penuh. Satu hal yang aku catat kalau ibu pergi berkencan, ibu tidak
pernah menginap, ibu selalu pulang ke rumah. Semalam apapun ibu pergi. He seems
nice. Aku menyukai si tuan tanah baik hati ini, namun ibu belum mengenalkannya
padaku. Tidak apa-apa, aku akan menunggu pengumuman bahagianya nanti.
Aku selalu
berharap bisa seperti ibuku: mandiri dan kuat. Tapi apabila teringat
pengkhianatan yang dilakukan lelaki itu, pendirianku melempem seperti biskuit
bayi terendam air. Hancur terlumat. Setahun penuh setelah dia pergi aku hanya
mengasihani diriku dan menikmati patah hatiku. Have I mentioned ‘tantrum’? That’s when I feel so damn miserable
reminding the good old days with that guy. Setelah seperti itu aku akan
pulang ke rumah, menangis sesengukan. Kadang tidak akan memakan apapun selama
beberapa hari kecuali air. Well, itu
minum, tidak masuk hitungan, but who
cares? Mengguyur kepalaku selama beberapa menit bahkan berjam-jam sampai
tagihan air membengkak, sampai kulitku mengkerut keriput jelek dan kulitku
membiru pucat. Selain itu aku akan keluar rumah seharian dan bersenang-senang,
dengan cara yang teramat… sembrono.
Shopping, go karaoke with the girls or just alone, go
clubbing, get drunk, call some random male friends and get drunk together, you
name it, but never got laid. Even once. I mean, with those random guys I just
do silly things, and never include ‘down-there’ business. Pernah suatu malam, after a
hard and crazy karaoke with my only own self, aku menelepon Tedy. He’s one of my best lads from high school.
‘Gue juga lagi sendirian nih di kedai Korea yang waktu itu kita gak sengaja
nemu. Sini aja, gue pesen sapi panggang. Wait, are you okay?’ Aku hanya menangis
sesaat lalu menyusut hidung, ‘Gue lagi pengen banget dipeluk.’ Tedy terdiam di
ujung sana. Terdengar dia menelan sesuatu mungkin sapi panggang yang dia katakan.
‘Lo dimana? Gue jemput aja.’ Aku turun dari taksi dan menghampirinya, ‘No need, I’m here. Some soju, please.’
Aku memesan dua botol soju dan mencomot sapi panggang dari mangkok kecil di
depan Tedy. Soju sebenarnya terasa aneh di lidahku, I’m never been an alcohol person, but when ‘it’ hit me, I’d love to get
drunk.
‘Just forget him. He is no longer worth your time,
your tears, your everything. He is gone for that biatch!’
‘Tapi gue ga
pernah sesayang itu sama cowok, Ted. Dia orang pertama yang bikin gue jatuh cinta. Gue harus gimana?’ aku menangis lagi. Meneguk
sebotol soju yang terhidang rapi di
depanku.
Tedy berdecak
sebal lalu menelan sapi panggangnya lagi. ‘Tadi maksudnya pengen dipeluk gimana? Are you gonna get laid? With me?’
Ingin rasanya menggetok botol soju kosong ini ke kepala Tedy, tapi urung kulakukan. Aku menuang
sedikit soju lagi ke gelas kecil yang
disodorkan Tedy. ‘No, I just wanna hug
someone, somebody, whatever. I just miss him. So bad. I can’t stand it, Ted.’
‘Hug me then. I’m all ready for you,’ Tedy merentangkan kedua tangannya setelah meneguk segelas kecil soju dingin.
Kepalaku mulai
terasa berat. Pusing. Tapi soju ini
rasanya lembut sekali di mulut. Tapi aku ingin dipeluk. Sebelum aku beranjak
menghampiri Tedy yang siap meraih tanganku, aku jatuh tersungkur. Kepalaku
sakit menghantam ubin. Dasar Tedy bodoh, kenapa tidak menangkapku? Lelaki macam
apa itu? Tapi aku tahu dia teman yang baik. Aku bangun keesokan paginya di
kamar ibuku dan terlihat ibu dengan raut muka cemas menungguiku. Ibu langsung
menyodoriku advil dan air putih. Aku
terbatuk sebentar dan duduk bersandar di kasurnya. ‘Tedy mana, Bu?’
Wajah ibu
berubah marah. Marah yang lucu, bukan yang benar-benar marah. Lalu dia memukul
tanganku. Aku mengaduh dan kita tertawa lirih. ‘Jam 2 tadi dia gedor-gedor
pintu gerbang kirain siapa ada apaan.
Ternyata kamu pingsan, kepala benjol, bau alkohol, kucel pasti habis nangis, dan Ibu mukulin Tedy bentar. Tedy
udah pulang tadi, dia gak mau telat
ke kantor katanya. Oh iya, Ibu udah ijinin
kamu ga masuk ke kantor, masuknya lusa karena gak enak badan. Kamu jangan main-main dulu, istirahat. Ibu ke kantor
dulu. Telat nih gara-gara kamu.’ Ibu mencium keningku sebentar lalu pergi ke
kantor setelah taksi yang dipesannya datang. Aku mengantar ibu sampai pintu
gerbang lalu masuk kembali ke rumah. Aku berdiri di depan kaca besar di
kamarku, menilai penampilanku sendiri. Kepalaku masih benjol sedikit. Bajuku
pasti sudah diganti ibu dan badanku pasti sudah dibersihkan sebelumnya. Masih
tercium sedikit soju. Aku terlihat
menyedihkan. Sangat menyedihkan.
Setahun penuh
aku menghabiskan waktuku mengasihani diriku sendiri dan bersikap menyedihkan.
Aku tidak pernah absen men-stalk
kehidupan pribadi lelaki itu di social media yang masih aku follow. Facebook, Twitter, blog,
Instagram, Line, semuanya. Ya, dia aktif di semua media sosial tersebut. Dasar
kurang kerjaan! Tapi aku selalu berakhir sakit hati, tak jarang menangis yang
harus kutahan saat aku masih di kantor. Lelaki ini yang dulunya sangat aku
banggakan berkata tidak akan goyah pertahanannya hanya karena satu wanita keras
kepala yang terus menerus mengganggu hubungan kami. Lalu kantor menugasiku
selama dua minggu untuk suatu proyek yang tak bisa aku tolak karena ini demi
kenaikan pangkatku. Tugas yang harusnya berakhir dalam dua minggu harus molor
menjadi tiga bulan karena klien sangat menyukai hasil kerja kerasku dan that’s how it happened. ‘I need you, but
you’re not here. You’re out there. Kita jauh, tapi aku kangen kamu. Aku
pengen ditemenin kamu. Telfon, video
call, gambar dan foto ga cukup buat aku. I need you here, you’re not here. So, I’m sorry. I’m sorry I can’t take
it any longer.’ Dia berdalih saat aku bertanya kenapa semua fotoku dihapus
dan relationship status-nya menjadi single. Dan aku memergokinya saling
berpelukan dan bergandengan tangan dengan wanita yang dia bilang tidak usah
dikhawatirkan. He’s cheating on me while
I’m trying my best to save my relationship and get my promotion. How cruel.
Lalu aku
melihatnya kemarin. Jauh lebih menyedihkan daripada aku tiga tahun yang lalu.
Well, aku masih single dan belum
tertarik untuk memulai hubungan baru. Trauma? Mungkin. And I saw him yesterday. Dia terlihat… sangat memprihatinkan. I heard he’s getting married, after two
years of cheating relationship. I didn’t get the invitation at that
time, but I knew it. I remembered I cried for like 3 months and I decided to
move on. In three years I never stop checking his activities on those social
media, I’m such a stalker. And I saw him yesterday. I feel sorry towards my
ex-boyfriend yesterday after three years of broken heart and I never feel so much
relieved for losing him. I saw him, he saw me.
Ibuku tidak
pernah membenci ayahku karena lebih memilih berpisah daripada mempertahankan
biduk rumah tangga mereka. Hal itu juga yang diajarkan kepadaku, ‘Jangan pernah
membenci hal-hal yang menyakitkanmu. Mungkin itu menyebalkan, kamu akan
merindukan kebersamaan itu suatu hari tapi itu udah gak ada. Percaya deh sama Ibu, kamu nanti lama-lama akan
terbiasa. Tetap sayangi keluargamu, karena gak ada istilah mantan bapak, mantan
ibu di dalam keluarga. Legowo aja.’
Ibu tidak pernah
marah walaupun aku menceritakan padanya betapa aku patah hati dan merasa
terkhianati karena lelaki ini. Ibu diam saja dan memelukku. ‘Kamu hanya terlalu
mencintai seseorang yang kamu sendiri gak yakin sama dia. Kamu hanya
memperjuangkan egomu sendiri yang kamu yakini sendiri akan berhasil dan kamu
‘memaksa’ keyakinanmu untuk diyakini sama dia. Ya mungkin bener karena kamu
lagi jauh waktu itu dan kamu gak ada usaha untuk ‘membuktikan’ keyakinan kamu
itu. Atau lebih simpelnya, ya dia emang brengsek
aja, Pris.’ Seketika aku terbahak
mendengar nasehat Ibu namun tak melepaskan pelukannya. Hal itu sering terulang lalu
aku berakhir tidur bersama Ibu dan membuat tangannya kram sebelah lagi.
‘Priscilla,’ dia
memanggilku lirih. Aku menilai penampilannya sekilas. Dulu dia dikenal necis
dan rapi, rambut kusut sedikit saja langsung ribut mencari sisir dan kaca.
Sekarang penampilannya kusut, kumisnya tipis tak terawat, rambut acak-acakan,
memakai jaket krem kebesaran dan celana jins kumal. Aku berdeham sebentar,
‘Hai.’
‘Long time no see.’
‘Well, gue gak punya
alasan yang pas juga sih buat ketemu.’
Dia tersenyum
tipis, merangkul kantong kertas yang berisi sayuran dan buah-buahan lebih erat.
Aku tidak pernah menyangka dia akan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti
ini. ‘Masih sama kayak dulu, to the
point, gak bisa basa basi.’ Aku hanya tersenyum tipis dan melipat kedua
tanganku. ‘So, this is my marriage life.
Being a dad of two and a bossy wife.’
Of course, I knew it! I know all of his activities, he
always posted it on Instagram, for God sake! Tapi
semua penampilan sempurnanya di masa lalu terasa palsu setelah melihatnya hari
ini. I stop checking his Instagram since
his twin son born. Aku merasa itulah saatnya aku berhenti bersikap
menyedihkan dan tidak lagi menjadi pengecut. Yah, aku masih memeriksanya
sesekali saat aku bosan and I found
nothing. Lama kelamaan kebiasaan stalking ini membosankan dan sia-sia. Kita
mengobrol sebentar, kebanyakan dia menceritakan keluarga kecilnya dan istrinya
– that bi… ah no more, they both are just
pitiful now – dan aku hanya menanggapi seadanya. Setelah pembicaraan kosong
yang berakhir dengan aku hanya mengasihaninya karena kehidupannya yang tak lagi
indah dan berantakan, aku pergi mengunjungi ayahku. Dia pergi berjalan kaki
menuju rumahnya. Kami berpisah jalan tanpa berjabat tangan karena merasa aku
tidak perlu menjalin komunikasi apapun dengannya. It all is over.
I know these words while I surf for nothing on internet.
‘Seeing the one who once took you for granted being taken for granted and you
just: I could give you the world, but oh well.’ It hit me! Right on my chest!
It felt like I was enlightened by some random wisdom, but it is so much true
and I was like ‘OH DAAAMN, where have I been?!’ I saw my ex-boyfriend yesterday
and felt sorry towards him for being pathetic and faked everything to look
perfect. Go on with your life, I already have mine. I don’t want to see you in
another life, because my future must be bright and sorry, you’re not on the
list.